Kamis, 05 Februari 2015

TEOROI – TEORI KONFLIK DAN ANALISIS MASYARAKAT DALAM SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TEORI KONFLIK
Teori konflik sebenarnya berada dalam satu naungan paradigma dengan teori fungsionalisme struktural. Teori struktural menilai bahwa fakta atau realita sosial adalah fungsional. Sementara, teori konflik menyoroti bahwa fakta sosial berupa wewenang dan posisi justru merupakan sumber pertentangan sosial. Wewenang dan posisi merupakan konsep sentral dari teori konflik. Menurut teori ini, ketidakmerataan distribusi dan wewenang otomatis akan menempatkan masyarakat pada posisi yang saling berbeda. Perbedaan posisi itu dapat memicu timbulnya konflik dalam masyarakat. Ide pokok dari teori konflik dapat dirinci menjadi tiga :
1.      Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditadai dengan adanya pertentangan terus menerus diantara unsur – unsurnya.
2.      Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
3.      Keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Konflik dalam masyarakat dapat membawa keadaan yang baik karena mendorong perubahan masyarakat, dan keadaan buruk apabila berkelanjutan tanpamengambil solusi yang dianggap bermanfaat bagi semua pihak sebagai akhir dari konflik, artinya tidak hanya dicari sebab konflik, tetapi juga bagaimana cara mengatasinay.
A.    Pandangan Karl Marx dalam Analisis konflik
Dalam teori Karl Marx terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengekuan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang – orang yang berada di dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadarannya, serta berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial.
Karl Marx memberikan tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya pemilikan alat produksi. Filosofi Karl Marx banyak di kemukakan dalam analisis sosiologi maupun ekonomi. Pada intinya ia menggabungkan antara komitmen ideologi dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Marx lebih memberi tekanan pada pentingnya kondisi materiil dalam struktur masyarakat dan membatasi pengaruh budaya yang bebas terhadap kesadaran individu serta perilakunya.
Marx memberi kesadaran manusia menjadi “kesadaran palsu” dan “kesadaran benar”. Dalam bagian lain, Marx juga meneyebutkan bahwa adanya kontrol terhadap kondisi kehidupan manusia akan menghasilkan alienasi atau perasaan akan ketersaingan. Manusia akan senantiasa dalam pengaruh struktur sosial. Bentuk dominasi yang dinyatakan melalui orientasi budaya dapat mempengaruhi kesadaran subjektif individu. Bentuk dominasi ini dapat meliputi pembentukan pandangan hidup dan cara berpikir dengan tujuan untuk memperkuat struktur kekuasaan.
Marx melihat bahwa pemenuhan kebutuha manusia ternomor duakan jika ketika itu juga harus diupayakan pemenuhan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan sistem sosial. Dengan kata lain, dapat pula disebutkan, bahwa kebutuhan manusia akan menempati prioritas yang lebih rendah apabila pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dapat disatukan dengan mudah kedalam struktur sistem tersebut.
Dalam teori Marx disebutkan bahwa peran negara relatif lebih pasif dibandingkan dengan peran institusi-institusi yang mempunyai otonomi, seperti lembaga pendidikan, organisasi ilmiah dan profesional, media massa, dan lain sebagainya.
Marx juga memberikan gambaran tentang model konflik kelas revolusioner dan perubahan sosial. Marx mengajukan asumsi yang sangat simpel, yaitu bahwa organisasi ekonomi, khususnya kepemilikan tanah akan menentukan organisasi yang ada dalam masyarakat. Dapat menimbulkan gejala, gejala itu terlihat sebagai berikut :
a.       Semakin perubahan sosial dibuat oleh segmen dominan untuk merusak keberadaan hubungan di antara segmen subordinat, maka semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.
b.      Semakin segmen dominan menciptakan keterasingan di antara segmen subordinat, maka semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.
c.       Semakin para anggota segmen subordinat pada mengkomunikasikan keluhan – keluhan di antara satu dengan yang lainnya, maka semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.
d.      Semakin subordinat dapat mengembangkan ideologi yang mempersatukan, maka semakin cenderung mereka menjadi sadar akan kepentingan kolektifnya.
B.     Pandangan George Simmel tentang Konflik
Simmel memandang konflik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan da dalam suatu masyarakat. Namun Simmel tida sependapat untuk melihat struktur sosial sebagai sistem yang hanya terbagi menjadi dua strata-kelas dominan dan subordinat.
Sumbangan utama Simmel terhadap teori organisasi adalah tentang teori konflik modern yang berusaha menjembatani antara konflik dalam bentuk abstrak dan menunjukkan terjadinya konflik pada tingkatan yang lebih umum. Bukan hanya sekedar konflik yang dijelaskan terhadap teori Marxist yaitu pertentangan kelas. Menurut Simmel teori konflik pada waktu itu merupakan pemahaman yang dibangun dalam tradisi Marxist tentang perubahan sosial, stratifikasi dan pembahasan dalam organisasi yang berskala luas (macro). Teori konflik seperti ini tidak menjawab mengapa terjadi dan kondisi apa yang merubah keadaan pada kelompok. Pandangan Simmel memunculkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang konflik.
Terkait dengan kekerasan yang terjadi di dalam konflik, simmel mengajukan proposisi tentang intensitas konflik sebagai berikut :
a.       Semakin besar tingkat keterlibatan emosi di dalam konflik, semakin cenderung konflik menjadi keras.
b.      Semakin suatu konflik dirasakan oleh para anggota yang terlibat konflik sebagai suatu yang memperjuangkan kepentingan individu, maka semakin cenderung konflik akan berlangsung secara keras.
c.       Semakin konflik dapat dipahami sebagai sesuatu yang akan berakhir, maka semakin kurang kecenderungan konflik akan menjadi keras.
Dapat diketahui bahwa kekerasan di dalam konflik itu dapat terjadi karena hal berikut :
a.       Keterlibatan emosional daripada anggota, dimana keterlibatan tersebut dipengaruhi oleh solidaritas dan harmonitas yang tercipta sebelumnya.
b.      Bahwa konflik dipersepsi sebagai suatu media untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dari masing – masing anggota.
Tindakan emosional merupakan sesuatu yang tidak rasional, tidak dapat dicapai dengan ukuran – ukuran yang masuk akal perilaku semacam ini sulit dikendalikan jika hanya mengandalkan anjuran – anjuran yang rasional karena para pelaku sedang tidak dalam kondisi emosi yang normal. Keterlibatan emosional tersebut juga di pengaruhi oleh adanya tingkat solidaritas dan harmonitas yang tinggi di antara para anggota kelompok masing – masing. Dengan demikian, dapat diduga bahwa kebrutalan yang terjadi dalam peristiwa konflik tertentu lebih dikarenakan adanya ledakan rasa sakit hati atau kecewa karena telah ada yang mengganggu harmonitas yang sebelumnya dinikmatinya.
Selain hal tersebut diatas, konflik akan berlangsung brutal jika kekerasan tersebut dipersepsi oleh para pelaku sebagai lat atau media untuk memperjuangkan kepentingan daripada individu masing – masing kelompok. Dalam posisi semacam ini, pelaku pertikaian sama – sama meyakini bahwa hanya dengan cara mengalahkan musuhlah masa kehidupannya akan menjadi lebih terjamin. Model semacam ini banyak terjadi dalam peristiwa kekerasan di indonesia.
C.    Pandangan Marx Weber tentang Konflik
Tokoh yang membawa aliran teori konflik aliran ini ialah Max Weber. Walaupun teori konflik berasaskan daripada teori konflik Marx, namun pandangan aliran ini banyak bercanggah pendapat dengan teori konflik aliran Marx. Weber menghujahkan bahawa perubahan sosial masyarakat bukanlah hanya disebabkan oleh faktor konflik kelas sosial yang berpunca daripada faktor ekonomi semata-mata tetapi turut berpunca daripada pelbagai faktor. Perkembangan kapitalisme di barat bukanlah disebabkan faktor pengeluaran sahaja tetapi disebabkan oleh faktor keagamaan.  
Marx Weber mempunyai perhatian pada sisi historis transisi masyarakat tradisional menuju masyarakat kapitalis modern. Menurutnya masyarakat akan lebih diarahkan oleh rasa rasionalitasnya daripada oleh nilai – nilai tradisional. Rasionalisasi kehidupan dapat membawa kebebasan baru bagi individu – individu dari dominasi dogma religius, komunitas, kelas, dan kekuatan tradisional lain.
Marx Weber melihat adanya korelasi yang tinggi antara kekuasaan, kekayaan dan martabat. Dalam istilah Weber jabatan atau wewenang dalam kekuasaan politik, pemilikan posisi ekonomi yang menguntungkan, dan keanggotaan di dalam kedudukan sosial yang tinggi. Sehubungan dengan analisanya mengenai ketidaksamarataan dan konflik, Weber mengajukan serial proposisi sebagai berikut :
a.       Semakin besar tingkat kemunduran, legitimasi dari kewenangan politik, maka semakin cenderung terjadi konflik antara superordinat dan subordinat.
b.      Semakin pemimpin kharismatik dapat muncul untuk memobilisasi kemarahan subordinat di dalam sistem, maka semakin besar akan terjadi konflik antara superordinat dan subordinat.
c.       Semakin efektif kharismatik di dalam memobilisasi subordinat dalam mensukseskan konflik, maka semakin besar tekanan untuk meneruskan kewenangannya dalam menciptakan sistem aturan dan kewenangan administratif.
d.      Semakin sistem aturan dan kewenangan administrasi dapat meningkatkan kondisi tingginya korelasi keanggotaan, tingginya diskontinuitas hierarki sosial, dan rendahnya mobilitas ke atas, maka semakin besar akan terjadi kemunduran legitimasi dari kewenangan politik dan semakin cenderung akan terjadi konflik antara superordinat dan subordinat.
Dalam analisis Marx Weber tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan dalam konflik itu dapat terjadi karena kemarahan kelompok subordinat yang tidak puas dengan akses – akses mereka pada kekuasaan, kekayaan dan prestise yang ada pada dirinya. Perjuangan kelompok subordinat rakyat tergantung pada kemampuan pemimpin kharismatik yang umumnya secara alamiah tiba – tiba muncul selama konflik sedang berlangsung. Kondisi semacam ini pula yang saat ini sesungguhnya sedang mengedepankan di Indonesia dimana legitimasi pemerintah semakin mengurang karena tidak mampu mengatasi beberapa konflik secara cepat, tepat dan berkeadilan.
D.    Pandangan Rafl Dahrendarf tentang Konflik
Menurut Dahrendorf, analisis masyarakat itu bertitik tolak dari kenyataan bahwa para anggotanya dapat dikelompokan dalam dua kategori, yaitu mereka yang menguasai dan yang dikuasai. Dualisme ini adalah yang termasuk struktur dan hakikat hidup bersama, memberi akibat akan kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan. Uraian ini merujuk dalam tiga konsep, yaitu kekuasaan, kepentingan, dan kelompok sosial.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
Teori tentang konplik dialektik ini dianggap masih mendapat pengaruh dari Marx. Menurutnya setiap organisasi sosial akan menunjukan realita seperti berikut :
a.       Setiap sistem sosial akan menampilkan konflik yang berkesinambungan.
b.      Konplik dimunculkan oleh kepentingan oposisi yang tak terhindarkan.
c.       Kepentingan oposisi tersebut merupakan refleksi dari perbedaan distribusi kekuasaan diantara kelompok dominan dan kelompok lapisan bawah.
d.      Kepentingan akan selalu membuat polarisasi kedalam dua kelompok yang berkonflik.
e.       Konplik akan bersifat dialektik karena resolusi terhadap suatu konflik akan menciptakan serangkaian kepentingan oposisi yang baru dan dalam kondisi tertentu akan memunculkan konflik berikutnya.
f.       Perubahan sosial selalu ada pada setiap sistem sosial dan hal ini merupakan hasil yang tak terhindarkan dari konflik dialektik dan aneka tipe pola institusional.
Konflik berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran kelompok subordinat tentang kepentingan kolektifnya. Peningkatan kesadaran tersebut sejalan dengan perkembangan kondisi “teknik” (kader kepemimpinan dan kodifikasi sistem ide), perkembangan kondisi “politik” (diperbolehkan kelompok oposisi mengorganisir diri), serta berkembangnya kondisi “sosial” (adanya peluang kelompok laten berkomunikasi dengan yang lain, dan meningkatnya rekrutmen oleh struktur yang ada).
Pada analisis Dahrendorf terlihat adanya posisi yang dilematis dari kelompok seperordinat. Bahwa peningkatan atau perkembangan kondisi teknik, politik dan sosial akan meningkatkan kesadaran kelompok semu / laten tentang kepentingan objektifnya. Hal ini akan dapat membuka peluang tumbuhnya konplik. Dengan meminjam pemikiran Dahendorf di atas dapat dimaknai bahwa tindakan – tindakan improvement yang dilakukan oleh kelompok superordinat akan menghasilkan dua konsekuensi sekaligus.
Pertama, terberdayakannya kelompok subordinat sehingga kesadarannya tumbuh dan ini juga berarti ancaman bagi keberadaan kelompok superordinat.
Kedua, semakin terjauhkannya kelompok subordinat dengan akses – akses strategi yang ada dalam sistem dan ini dapat menumbuhkan kekecewaan yang muaranya juga konplik antarsegmen.
Berdasarkan pemahaman semacam ini, dapat diduga bahwa konplik memang merupakan keniscayaan kehidupan yang tidak terhindarkan.
E.     Pandangan Lewis A. Coser tenteng Konflik
Menurut Coser, konflik disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber – sumber langka. Disisi lain, konflik yang bersifat antar ataupun dalam kelompok selalu terwujud dalam kehidupan sosial. Karena itu, konplik disebut sebagai unsur interaksi yang penting, yang sama sekali tidak boleh disimpulkan bahwa konplik selalu tidak baik, memecah belah atau merusak. Dengan demikian bagi Coser, konflik yang menyangkut ralasi – relasi pertentangan yang objektif dan struktural itu justru dapat menyumbang ke arah kelestarian kelompok dan mempererat relasi antar anggota kelompok tersebut.
Lebih lanjut, Coser menyampaikan proposisi tentang kekerasan konflik sebagai berikut :
a.       Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu – isu yang realistik atau tujuan yang dapat dicapai, maka semakin cenderung mereka melihat kompromi sebagai alat untuk merealisasikan kepentingannya, oleh karenanya kekerasan konplik akan semakin berkurang.
b.      Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu – isu yang tidak realistik atau tujuan yang tidak dapat dicapai, maka semakin besar tingkat emosional akan dapat membangunkan dan terlihat dalam konflik dan oleh karenanya konflik akan semakin keras.
c.       Semakin kurang fungsi hubungan interdepensi di antara unit – unit sosial di dalam sistem, maka semakin kurang tersediaannya alat – alat institusi untuk menahan konflik dan ketegangan, semakin keras suatu konflik.
Berdasarkan pemikiran Coser tersebut, secara teoritis dapat diduga bahwa kekerasan yang terjadi disebabkan oleh adanya isu – isu yang non realistik di dalamnya. Isu yang tudak realistis adalah isu yang tujuan – tujuannya tidak dapat direalisasikan. Coser mencontohkan isu tentang agama, etnis, dan suku merupakan sesuatu yang tidak realistik. Konflik yang terjadi karena isu tersebut dikonsepsikan akan berlangsung secara keras.

Dalam kacamata Coser, lama tidaknya suatu konflik dipengaruhi oleh tiga hal :
1.      Luas sempitnya tujuan konflik.
2.      Pengetahuan sang pemimpin tentang simbol – simbol kemenangan atau kekalahan dalam konflik.
3.      Peranan pemimpin dalam memahami biaya konflik dan persuasi pengikutnya.
Dalam pemikiran semacam ini, tampak jelas bahwa peranan pemimpin begitu besar. Dengan demikian untuk beberapa kasus di Indonesia, solusinya menunggu keterlibatan sang pemimpin secara total.
2.2  ANALISIS
A.    Integrasi Nasional
Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Integrasi bangsa Indonesia adalah masalah esensial bagi bangsa ini dan merupakan masalah dinamis dan kompleks yang memerlukan suatu kajian secara berkala untuk melihat mutu integrasi tersebut. Proses disintegrasi tidak terjadi secara mendadak, tetapi yang terjadi adalah degradasi secara terlambat dan tersembunyi, kemudian muncul dalam bentuk gejala yang sudah akut.
Konsep kebangsaan adalah terbentuknya suatu nation yang tidak didasarkan pada kesamaan ras, suku, agama, kepentingan bersama, geografi atau batas ilmiah, tetapi merupakan suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri atas orang – orang yang saling merasa setia kawan dengan satu sama lain.
Konsep kebangsaan tersebut di atas menekankan besarnya komitmen, juga perasaan atau sentimen sebagai unsur penting dari terbentuknya suatu negara bangsa, sehingga tidak mengherankan apabila para bapak bangsa kita di masa awal kemerdekaan dengan penuh keyakinan bersepakat bahwa negara baru ini berlandaskan pada azas integralisme, dimana hubungan antara penguasa dan rakyat bersifat kekeluargaan.
Namun, intefrasi nasional tidak hanya tergantung dari perasaan dan komitmen, sentimental semata. Secara teoritis, integrasi suatu negara bangsa dapat diciptakan oleh paling sedikit tiga kekuatan, yaitu sebagai berikut :
Pertama, adanya kesepakatan nilai yang telah mendarah daging pada masyarakat bangsa tersebut. Masyarakat yang memiliki integrasi tipe ini (integrasi normatif) menjungjung tinggi kesatuan bangsa bukan saja sebagai alat yang ampuh untuk mencapai cita – cita bangsa, tetapi bahkan kesatuan merupakan tujuan itu sendiri.
Kedua, integrasi yang dihasilkan oleh suatu kekuatan yang memaksa dari suatu kelompok yang dominan. Integrasi seperti ini tidak terlalu mendasarkan kepada ada tidaknya sistem nilai integrasi yang hidup berkembang dalam masyarakat yang mendukungnya.
Ketiga, integrasi yang muncul dan bertahan karena anggota masyarakat menyadari secara rasional bahwa integrasi tersebut amat mereka butuhkan untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dan dalam integrasi ini, setiap kelompok harus merasa diuntungkan oleh fungsi yabg dijalankan oleh kelompok lain.
Ketiga integrasi tersebut memiliki kelemahan dan kekuatannya. Integrasi normatif yang pertama, tidak dipermasalahkan lagi karena masyarakat menilai tinggi integrasi tersebut dari lubuk hatinya. Semua masyarakat mendukungnya tanpa syarat, bahkan memeliharanya melalui suatu mekanisme sosialisasi. Akan tetapi, apabila masyarakat modern yang semakin kompleks, dan dengan ramainya sistem nilai baru, pemikiran baru dan budaya baru melalui proses globalisasi ini, maka suatu kesepakatan nilai biasanya semakin sulit untuk dicapai sehingga integrasi jenis ini amat rawan terhadap perkembangan zaman.
Integrasi yang kedua, yang sifatnya koersif tergantung dari kekuatan bertahan dari kelompok dominan, akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa kekuatan koersif bagaimanapun diperlukan juga untuk melindungi suatu komitmen integrasi dari rongrongan pihak lawan karena tidak ada masyarakat tanpa konflik.
Integrasi fungsional yang ketiga, merupakan suatu pihak yang ideal. Akan tetapi, bila integrasi hanya dijadilan semata – mata “alat” (bersifat instrumental) untuk mencapai tujuan semntara, maka integrasi akan selalu berada di ujung tanduk.
Bangsa Indonesia secara teoritis dapat memilih dari ketiga integrasi tersebut, yaitu suatu integrasi oleh suatu kesepakatan nilai yang menjungjung tinggi kesatuan itu sendiri (sebagai cita – cita, bukan sekedar alat) dan terdapat suatu daya tahan untuk mempertahankan komitmen tersebut bila perlu dengan suatu kekuatan yang riil.
Faktor-faktor pendorong integrasi nasional sebagai berikut:
1.      Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
2.      Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
3.      Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
4.      Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
5.      Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa kesatuan bahasa Indonesia.
Faktor-faktor penghambat integrasi nasional sebagai berikut:
1.      Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan sebagainya.
2.      Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3.      Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
4.      Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
5.      Adanya paham “etnosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
B.     Konflik dalam Masyarakat Indonesia
Konflik yang terjadi di berbagai wilayah tanah air tidak semata – mata karena faktor kepentingan para elite yang berbenturan. Akan tetapi, konflik juga terjadi karena berbagai tuntutan untuk diperlakukan secara adil, hilangnya otonomi kolektif dan pengalaman refresi oleh kelompok dominan memperkuat rasa diperlakukan tidak adil,adanya diskriminasi aktif dalam politik, ekonomi dan budaya, serta kehadiran kelompok yang menggalang pemberontakan. Menurut pandangan Ritzer (1992) tentang faktor -  faktor penyebab timbulnya konflik di masyarakat tertuama, perbedaan posisi dan wewenang, membuat analisis dari teori konflik sebagai berikut :
a.       Konflik sosial bersumber dari adanya distribusi kekuasaan yang tidak merata. Rasional pun menyebutkan bahwa tidaklah memungkinkan untuk dilakukan distribusi kekuasaan secar merata kepada seluruh anggota masyarakat.
b.      Konflik juga berasal dari tidak tunduknya individu – individu sebagai pihak yang dikuasai terhadap sanksi yang di berikan oleh pihak yang sedang berada pada posisi menguasai.
c.       Konflik merupakan fungsi dari adanya pertentangan antara penguasa dan yang dikuasai, dimana penguasa senantiasa ingin mempertahankan set of properties yang melekat pada kekuasaannya, sementara yang dikuasai selalu terobsesi untuk mewujudkan perubahan yang dianggap merupakan satu – satunya jalan untuk menggapai perbaikan posisi dirinya.
Dari pada itu, konflik – konflik yang terjadi di Indonesia seharusnya disikapi sebagai cara untuk merengkuh warna kehidupan yang lebih memberdayakan masyarakat manusia. Selama ini, konflik paling disikapi sebagai suatu peringatan, cobaan, dan laknat dari sang penguasa alam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konflik merupakan sesuatu yang terpaksa diterima oleh manusia. Konflik tidak ditempatkan dalam agenda kehidupan sebagai strategi, cara atau jalan untuk mencapai tujuan kehidupan.
Menurut Nurudin, untuk konflik – konflik yang sudah terlanjur muncul di masyarakat dapat diatasi dengan cara sebagai berikut :
a.       Apabila konflik itu menyangkut kemajemukan vertikal, konflik  yyang timbul karena tiap – tiap kelompok atau individu yang beerdasarkan pekerjaan, profesi dan tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda, bahkan saling bertentangan alternatif yang bisa dilakkukan adalah kemampuan semua pihak yang berkonflik untuk saling menyesuaikan diri dengan kepentingan dan nilai pihak lain.
b.      Apabila konflik itu menyangkut kemajemukan horizontal, struktur masyarakat yang terppolarisasi menurut pemikirannya, kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan adalah mengurangi disparitas (perbedaan) di antara dua belah pihak.apabila hal demikian menyangkut kekayaan, maka bagai maana kekayaan itu mampu didistribusikan kepada golongan – golongan secara merata. Apabila kekuasaan (meminjam istilaah Nordlinger) adanya prinsip asas proporssonialitas, yakni posisi - posisi pemerintah yang penting didistribusikan kepadaa golongan – golongan masyarakat sesuai dengan porsi jumlahnya dalam keseluruhhan penduduk.
c.       Apabila hal demikian menyangkut kurrangnya saluran katarsis politik adalah bagaimana prosespebbyaluran aspirasi, komentar, partisipasi, dan unek – unnek masyarakat yang bisa dilakukan.
Menurut Ralf Dahendorf, untuk mengantisipasi konflik, perlu penggorganisasian terhdap kelompok – kelompok sosial scara lebih baik karena dengan berbagai pengorganisasian secara baik terhadap kelompok – kelompok sosial yang ada akan membangun sebuah mekanisme kontrol terhadap kecenderungan kelompok – kelompok sosial tersebut. Sebaliknya, jika pengorganisasian kelompok – kelompok sosial tersebut tidak berjalan secara baik, maka akan terbuka kemungkinan untuk melakukan gerakan – gerakan sosial yang tidak bisa dikontrol.
Menurut Jack Rothman, untuk mengatasi berbagai konflik yang ada di dalam masyarakat maka perlu dilakukan beberapa tindakan :
1.      Tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengaturan administratif, penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi.
2.      Memberikan intensif, seperti memberikan penghargaan kepada suatu komunitas akan keberhasilan menjaga ketertiban dan keharmonisan.
3.      Tindakan persusif, terutama terhadap ketidakpuasan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi realitas, sosial, politik, dan ekonomi.
4.      Tindakan normatif, yakni melakukan proses membangun persepsi dan keyakinan masyarakat akan sistem sosial yang akan dicapai.
Dari pada itu, organisasi yang bukan bertujuan laba atau organisasi pemerintah, mempunyai fungsi terpenting yang bersifat khas seorang manajer, yaitu mengenai pemecahan masalah. Manajer harus mengetahui bahwa tentang problem yang harus diselesaikan, sedangkan penyelesaiannya bersifat terpadu yang melibatkan seluruh sistem organisasi (sistem sosial) dan hal ini merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri.
Ada beberapa langkah penerapan manajemen sistem sosial, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Pengendalian sosial, di dalam masyarakat yang multietnik perlu dilakukannya suatu pengendalian sosial. Pengendalian sosial ini merupakan suatu kontrol masyarakat, baik kontrol pemerintah terhadap perilaku masyarakat maupun kontrol masyarakat terhadap perilaku pemerintah.
b.      Pemberdayaan masyarakat atau sumber daya lokal. Dalam pemberdayaan ini, yang menjadi pengelolanya dalam hal ini adalah pemimpin atau pemerintah yang mendapat kepercayaan masyarakat dan yang merupakan putra daerah.
c.       Membangun solidaritas sosial antar kelompok  etnik atau solidaritas sosial masyarakat. Bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang di anut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
d.      Peningkatan mutu hidup masyarakat. Realitas sosial menggambarkan bahwa kemiskinan lebih banyak berada di daerah pedesaan. Kemiskinan ini di tunjang lagi dengan kondisi ekonomi saat ini sedang sulit.

C.    Kemajemukan Masyarakat dalam Menghadapi Terjadinya Disintegrasi Bangsa
Pada tanggal 17 Agustus 1945 ketika RI memproklamasikan kemerdekaannya, negara langsung dihadapkan kepada adanya perbedaan – perbedaan di antara golongan penduduk suku dan agama. Melalui paham Bhinneka Tunggal Ika, tangan bangsa yang kokoh kuat telah menggenggam panji yang berbunyi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
Akan tetapi, ini bukanlah berarti bahwa adanya perbedaan – perbedaan itu kadang – kadang diiringi antagonisme dan pertentangan. Oleh karena itu, paham Bhinneka Tunggal Ika bukanlah bermaksud untuk conte cute conte yang secara kukuh mempertahankan, mengkonservir perbedaan – perbedaan itu sampai akhir zaman karena perbedaan – perbedaan segalanya memang itu sudah ada sejak inonesia lahir.
Apa yang diuraikan diatas, seolah – olah ada sesuatu yang terlupakan. Kenyataannya tampak karena paham akan kemajemukan bangsa malah melahirkan berbagai krisis, yang penyelesaiannya tak kunjung usai. Akibat dari itu seolah – olah kita kehilangan ambeg para maarta, dalam arti pengutamakan kepentingan orang banyak dan mau mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Teori sosiologi mengutarakan tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, perubahan masyarakat itu dinamakan perubahan sosial. Semua perubahan sosial dalam prosesnya melalui berbagai tahap :
1.      Tahap terintegrasi atau tahapan terorganisasi. Tahap ini merupakan tahap sosial budaya, dimana lembaga – lembaga sosial budaya, seperti lembaga politik, ekonomi, pemerintahan, agama dan lain – lain berada dalam kerukunan dan keseimbangan.
2.      Tahap disintegrasi atau diorganisasi antara lembaga sosial budaya. Pada tahap ini masyarakat mengalami situasi sosial psikologi, dimana orang sering tidak mengetahui nilai – nilai mana yang dianggap baik dan nilai – nilai mana yang di anggap tidak baik.
3.      Tahap reintegrasi kehidupan. Hal ini jarang terjadi, tetapi tahap reintegrasi itu sebenarnya merupakan tahapintegrasi sosial budaya dengan sistem nilai – nilai dan kaidah – kaidah yang berbeda dari yang berlaku pada tahap pertama.
Apabila tahapan – tahapan yang dipaparkan diatas digunakan dalam meneropong situasi masyarakat dewasa ini, masyarakat kita sedang berada pada tahapan – tahapan tersebut. Tahapan yang harus hati – hati adalah pada tahapan kedua atau periode anomie. Jalan keluar untuk itu seyogyanya di dalam keadaan yang demikian, harus cermat dalam menyikapi kemajemukan masyarakat.

BAB III
PENUTUPAN
3.1  Kesimpulan
1.      Teori konflik menurut :
·         Karl Marx : Filosofi Karl Marx banyak di kemukakan dalam analisis sosiologi maupun ekonomi. Pada intinya ia menggabungkan antara komitmen ideologi dengan struktur ekonomi dan posisi kelas.
·         George Simmel : Simmel memandang konflik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan da dalam suatu masyarakat. Namun Simmel tida sependapat untuk melihat struktur sosial sebagai sistem yang hanya terbagi menjadi dua strata-kelas dominan dan subordinat.
·         Marx Weber : Marx Weber mempunyai perhatian pada sisi historis transisi masyarakat tradisional menuju masyarakat kapitalis modern. Menurutnya masyarakat akan lebih diarahkan oleh rasa rasionalitasnya daripada oleh nilai – nilai tradisional.
·         Ralf Dahrendorf : analisis masyarakat itu bertitik tolak dari kenyataan bahwa para anggotanya dapat dikelompokan dalam dua kategori, yaitu mereka yang menguasai dan yang dikuasai.
·         Lewis A. Coser : konflik disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber – sumber langka. Disisi lain, konflik yang bersifat antar ataupun dalam kelompok selalu terwujud dalam kehidupan sosial.
2.      Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional.
3.      Konflik yang terjadi di berbagai wilayah tanah air tidak semata – mata karena faktor kepentingan para elite yang berbenturan. Akan tetapi, konflik juga terjadi karena berbagai tuntutan untuk diperlakukan secara adil, hilangnya otonomi kolektif dan pengalaman refresi oleh kelompok dominan memperkuat rasa diperlakukan tidak adil,adanya diskriminasi aktif dalam politik, ekonomi dan budaya, serta kehadiran kelompok yang menggalang pemberontakan.
4.      Pada masa proklamasi, negara langsung dihadapkan kepada adanya perbedaan – perbedaan di antara golongan penduduk suku dan agama. Melalui paham Bhinneka Tunggal Ika, tangan bangsa yang kokoh kuat telah menggenggam panji yang berbunyi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
3.2  Saran
Kami  berharap semoga makalah yang kami buat bisa bermanfaat dan memberi pengaruh positif kepada semua pihak. kami juga berharap setelah pembaca membaca makalah yang kami buat, pembaca bisa lebih mengerti dan memahami teori – teori tentang konflik dan analisis masyarakat.
 
DAFTAR PUSTAKA
Ranjabar, Jacobus. 2013. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung : Alfabeta

2 komentar:

  1. Daftar Agen Judi Poker, Adukiu, QQ, BandarQ Online Terpercaya Di Indonesia Sekarang Juga...
    Tingkat kemenangan 80% Ayo Buruan Tunggu Apa Lagi Daftarkan Diri anda sekarang juga...
    CentralQQ
    CentralQQ
    CentralQQ
    CentralQQ
    CentralQQ
    CentralQQ

    BalasHapus