BAB II
PEMBAHASAN
2.1
TEORI KONFLIK
Teori
konflik sebenarnya berada dalam satu naungan paradigma dengan teori
fungsionalisme struktural. Teori struktural menilai bahwa fakta atau realita
sosial adalah fungsional. Sementara, teori konflik menyoroti bahwa fakta sosial
berupa wewenang dan posisi justru merupakan sumber pertentangan sosial.
Wewenang dan posisi merupakan konsep sentral dari teori konflik. Menurut teori
ini, ketidakmerataan distribusi dan wewenang otomatis akan menempatkan
masyarakat pada posisi yang saling berbeda. Perbedaan posisi itu dapat memicu
timbulnya konflik dalam masyarakat. Ide pokok dari teori konflik dapat dirinci
menjadi tiga :
1. Masyarakat
senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditadai dengan adanya
pertentangan terus menerus diantara unsur – unsurnya.
2. Setiap
elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
3. Keteraturan
yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau
pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Konflik
dalam masyarakat dapat membawa keadaan yang baik karena mendorong perubahan
masyarakat, dan keadaan buruk apabila berkelanjutan tanpamengambil solusi yang
dianggap bermanfaat bagi semua pihak sebagai akhir dari konflik, artinya tidak
hanya dicari sebab konflik, tetapi juga bagaimana cara mengatasinay.
A.
Pandangan
Karl Marx dalam Analisis konflik
Dalam
teori Karl Marx terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang tidak dapat
diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengekuan adanya struktur kelas
dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang
– orang yang berada di dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas
ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadarannya, serta berbagai
pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial.
Karl
Marx memberikan tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya
pemilikan alat produksi. Filosofi Karl Marx banyak di kemukakan dalam analisis
sosiologi maupun ekonomi. Pada intinya ia menggabungkan antara komitmen
ideologi dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Marx lebih memberi tekanan
pada pentingnya kondisi materiil dalam struktur masyarakat dan membatasi
pengaruh budaya yang bebas terhadap kesadaran individu serta perilakunya.
Marx
memberi kesadaran manusia menjadi “kesadaran palsu” dan “kesadaran benar”.
Dalam bagian lain, Marx juga meneyebutkan bahwa adanya kontrol terhadap kondisi
kehidupan manusia akan menghasilkan alienasi atau perasaan akan ketersaingan.
Manusia akan senantiasa dalam pengaruh struktur sosial. Bentuk dominasi yang
dinyatakan melalui orientasi budaya dapat mempengaruhi kesadaran subjektif
individu. Bentuk dominasi ini dapat meliputi pembentukan pandangan hidup dan
cara berpikir dengan tujuan untuk memperkuat struktur kekuasaan.
Marx
melihat bahwa pemenuhan kebutuha manusia ternomor duakan jika ketika itu juga
harus diupayakan pemenuhan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan untuk
mempertahankan sistem sosial. Dengan kata lain, dapat pula disebutkan, bahwa
kebutuhan manusia akan menempati prioritas yang lebih rendah apabila pemenuhan
kebutuhan tersebut tidak dapat disatukan dengan mudah kedalam struktur sistem
tersebut.
Dalam
teori Marx disebutkan bahwa peran negara relatif lebih pasif dibandingkan
dengan peran institusi-institusi yang mempunyai otonomi, seperti lembaga
pendidikan, organisasi ilmiah dan profesional, media massa, dan lain
sebagainya.
Marx
juga memberikan gambaran tentang model konflik kelas revolusioner dan perubahan
sosial. Marx mengajukan asumsi yang sangat simpel, yaitu bahwa organisasi
ekonomi, khususnya kepemilikan tanah akan menentukan organisasi yang ada dalam
masyarakat. Dapat menimbulkan gejala, gejala itu terlihat sebagai berikut :
a. Semakin
perubahan sosial dibuat oleh segmen dominan untuk merusak keberadaan hubungan
di antara segmen subordinat, maka semakin cenderung mereka menjadi sadar
tentang kepentingan kolektifnya.
b. Semakin
segmen dominan menciptakan keterasingan di antara segmen subordinat, maka
semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.
c. Semakin
para anggota segmen subordinat pada mengkomunikasikan keluhan – keluhan di
antara satu dengan yang lainnya, maka semakin cenderung mereka menjadi sadar
tentang kepentingan kolektifnya.
d. Semakin
subordinat dapat mengembangkan ideologi yang mempersatukan, maka semakin
cenderung mereka menjadi sadar akan kepentingan kolektifnya.
B.
Pandangan
George Simmel tentang Konflik
Simmel
memandang konflik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan da dalam suatu
masyarakat. Namun Simmel tida sependapat untuk melihat struktur sosial sebagai
sistem yang hanya terbagi menjadi dua strata-kelas dominan dan subordinat.
Sumbangan
utama Simmel terhadap teori organisasi adalah tentang teori konflik modern yang
berusaha menjembatani antara konflik dalam bentuk abstrak dan menunjukkan
terjadinya konflik pada tingkatan yang lebih umum. Bukan hanya sekedar konflik
yang dijelaskan terhadap teori Marxist yaitu pertentangan kelas. Menurut Simmel
teori konflik pada waktu itu merupakan pemahaman yang dibangun dalam tradisi
Marxist tentang perubahan sosial, stratifikasi dan pembahasan dalam organisasi
yang berskala luas (macro). Teori konflik seperti ini tidak menjawab mengapa
terjadi dan kondisi apa yang merubah keadaan pada kelompok. Pandangan Simmel
memunculkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang konflik.
Terkait
dengan kekerasan yang terjadi di dalam konflik, simmel mengajukan proposisi
tentang intensitas konflik sebagai berikut :
a. Semakin
besar tingkat keterlibatan emosi di dalam konflik, semakin cenderung konflik
menjadi keras.
b. Semakin
suatu konflik dirasakan oleh para anggota yang terlibat konflik sebagai suatu
yang memperjuangkan kepentingan individu, maka semakin cenderung konflik akan
berlangsung secara keras.
c. Semakin
konflik dapat dipahami sebagai sesuatu yang akan berakhir, maka semakin kurang kecenderungan
konflik akan menjadi keras.
Dapat
diketahui bahwa kekerasan di dalam konflik itu dapat terjadi karena hal berikut
:
a. Keterlibatan
emosional daripada anggota, dimana keterlibatan tersebut dipengaruhi oleh
solidaritas dan harmonitas yang tercipta sebelumnya.
b. Bahwa
konflik dipersepsi sebagai suatu media untuk memperjuangkan kepentingan pribadi
dari masing – masing anggota.
Tindakan
emosional merupakan sesuatu yang tidak rasional, tidak dapat dicapai dengan
ukuran – ukuran yang masuk akal perilaku semacam ini sulit dikendalikan jika
hanya mengandalkan anjuran – anjuran yang rasional karena para pelaku sedang
tidak dalam kondisi emosi yang normal. Keterlibatan emosional tersebut juga di
pengaruhi oleh adanya tingkat solidaritas dan harmonitas yang tinggi di antara
para anggota kelompok masing – masing. Dengan demikian, dapat diduga bahwa
kebrutalan yang terjadi dalam peristiwa konflik tertentu lebih dikarenakan
adanya ledakan rasa sakit hati atau kecewa karena telah ada yang mengganggu
harmonitas yang sebelumnya dinikmatinya.
Selain
hal tersebut diatas, konflik akan berlangsung brutal jika kekerasan tersebut
dipersepsi oleh para pelaku sebagai lat atau media untuk memperjuangkan
kepentingan daripada individu masing – masing kelompok. Dalam posisi semacam
ini, pelaku pertikaian sama – sama meyakini bahwa hanya dengan cara mengalahkan
musuhlah masa kehidupannya akan menjadi lebih terjamin. Model semacam ini
banyak terjadi dalam peristiwa kekerasan di indonesia.
C.
Pandangan
Marx Weber tentang Konflik
Tokoh yang membawa aliran teori konflik aliran ini ialah Max Weber. Walaupun
teori konflik berasaskan daripada teori konflik Marx, namun pandangan aliran
ini banyak bercanggah pendapat dengan teori konflik aliran Marx. Weber
menghujahkan bahawa perubahan sosial masyarakat bukanlah hanya disebabkan oleh
faktor konflik kelas sosial yang berpunca daripada faktor ekonomi semata-mata
tetapi turut berpunca daripada pelbagai faktor. Perkembangan kapitalisme di
barat bukanlah disebabkan faktor pengeluaran sahaja tetapi disebabkan oleh
faktor keagamaan.
Marx Weber
mempunyai perhatian pada sisi historis transisi masyarakat tradisional menuju
masyarakat kapitalis modern. Menurutnya masyarakat akan lebih diarahkan oleh
rasa rasionalitasnya daripada oleh nilai – nilai tradisional. Rasionalisasi
kehidupan dapat membawa kebebasan baru bagi individu – individu dari dominasi
dogma religius, komunitas, kelas, dan kekuatan tradisional lain.
Marx Weber
melihat adanya korelasi yang tinggi antara kekuasaan, kekayaan dan martabat.
Dalam istilah Weber jabatan atau wewenang dalam kekuasaan politik, pemilikan
posisi ekonomi yang menguntungkan, dan keanggotaan di dalam kedudukan sosial
yang tinggi. Sehubungan dengan analisanya mengenai ketidaksamarataan dan
konflik, Weber mengajukan serial proposisi sebagai berikut :
a. Semakin
besar tingkat kemunduran, legitimasi dari kewenangan politik, maka semakin
cenderung terjadi konflik antara superordinat dan subordinat.
b. Semakin
pemimpin kharismatik dapat muncul untuk memobilisasi kemarahan subordinat di
dalam sistem, maka semakin besar akan terjadi konflik antara superordinat dan
subordinat.
c. Semakin
efektif kharismatik di dalam memobilisasi subordinat dalam mensukseskan
konflik, maka semakin besar tekanan untuk meneruskan kewenangannya dalam
menciptakan sistem aturan dan kewenangan administratif.
d. Semakin
sistem aturan dan kewenangan administrasi dapat meningkatkan kondisi tingginya
korelasi keanggotaan, tingginya diskontinuitas hierarki sosial, dan rendahnya
mobilitas ke atas, maka semakin besar akan terjadi kemunduran legitimasi dari
kewenangan politik dan semakin cenderung akan terjadi konflik antara superordinat
dan subordinat.
Dalam
analisis Marx Weber tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan dalam konflik itu
dapat terjadi karena kemarahan kelompok subordinat yang tidak puas dengan akses
– akses mereka pada kekuasaan, kekayaan dan prestise yang ada pada dirinya.
Perjuangan kelompok subordinat rakyat tergantung pada kemampuan pemimpin
kharismatik yang umumnya secara alamiah tiba – tiba muncul selama konflik
sedang berlangsung. Kondisi semacam ini pula yang saat ini sesungguhnya sedang
mengedepankan di Indonesia dimana legitimasi pemerintah semakin mengurang
karena tidak mampu mengatasi beberapa konflik secara cepat, tepat dan
berkeadilan.
D.
Pandangan
Rafl Dahrendarf tentang Konflik
Menurut
Dahrendorf, analisis masyarakat itu bertitik tolak dari kenyataan bahwa para
anggotanya dapat dikelompokan dalam dua kategori, yaitu mereka yang menguasai
dan yang dikuasai. Dualisme ini adalah yang termasuk struktur dan hakikat hidup
bersama, memberi akibat akan kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan.
Uraian ini merujuk dalam tiga konsep, yaitu kekuasaan, kepentingan, dan
kelompok sosial.
Bagi
Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang
dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori
sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus.
Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang
mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi
dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan
konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan
demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan
otoritas terhadap posisi yang lain.
Teori
tentang konplik dialektik ini dianggap masih mendapat pengaruh dari Marx.
Menurutnya setiap organisasi sosial akan menunjukan realita seperti berikut :
a.
Setiap sistem sosial akan
menampilkan konflik yang berkesinambungan.
b.
Konplik dimunculkan oleh
kepentingan oposisi yang tak terhindarkan.
c.
Kepentingan oposisi tersebut
merupakan refleksi dari perbedaan distribusi kekuasaan diantara kelompok
dominan dan kelompok lapisan bawah.
d.
Kepentingan akan selalu membuat
polarisasi kedalam dua kelompok yang berkonflik.
e.
Konplik akan bersifat dialektik
karena resolusi terhadap suatu konflik akan menciptakan serangkaian kepentingan
oposisi yang baru dan dalam kondisi tertentu akan memunculkan konflik
berikutnya.
f.
Perubahan sosial selalu ada pada
setiap sistem sosial dan hal ini merupakan hasil yang tak terhindarkan dari
konflik dialektik dan aneka tipe pola institusional.
Konflik berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran kelompok subordinat
tentang kepentingan kolektifnya. Peningkatan kesadaran tersebut sejalan dengan
perkembangan kondisi “teknik” (kader kepemimpinan dan kodifikasi sistem ide),
perkembangan kondisi “politik” (diperbolehkan kelompok oposisi mengorganisir
diri), serta berkembangnya kondisi “sosial” (adanya peluang kelompok laten
berkomunikasi dengan yang lain, dan meningkatnya rekrutmen oleh struktur yang
ada).
Pada analisis Dahrendorf terlihat adanya posisi yang dilematis dari
kelompok seperordinat. Bahwa peningkatan atau perkembangan kondisi teknik,
politik dan sosial akan meningkatkan kesadaran kelompok semu / laten tentang
kepentingan objektifnya. Hal ini akan dapat membuka peluang tumbuhnya konplik.
Dengan meminjam pemikiran Dahendorf di atas dapat dimaknai bahwa tindakan –
tindakan improvement yang dilakukan oleh kelompok superordinat akan
menghasilkan dua konsekuensi sekaligus.
Pertama, terberdayakannya kelompok subordinat sehingga kesadarannya
tumbuh dan ini juga berarti ancaman bagi keberadaan kelompok superordinat.
Kedua, semakin terjauhkannya kelompok subordinat dengan akses – akses
strategi yang ada dalam sistem dan ini dapat menumbuhkan kekecewaan yang
muaranya juga konplik antarsegmen.
Berdasarkan
pemahaman semacam ini, dapat diduga bahwa konplik memang merupakan keniscayaan
kehidupan yang tidak terhindarkan.
E.
Pandangan Lewis A. Coser tenteng Konflik
Menurut
Coser, konflik disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin
mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber – sumber langka.
Disisi lain, konflik yang bersifat antar ataupun dalam kelompok selalu terwujud
dalam kehidupan sosial. Karena itu, konplik disebut sebagai unsur interaksi
yang penting, yang sama sekali tidak boleh disimpulkan bahwa konplik selalu
tidak baik, memecah belah atau merusak. Dengan demikian bagi Coser, konflik
yang menyangkut ralasi – relasi pertentangan yang objektif dan struktural itu
justru dapat menyumbang ke arah kelestarian kelompok dan mempererat relasi
antar anggota kelompok tersebut.
Lebih
lanjut, Coser menyampaikan proposisi tentang kekerasan konflik sebagai berikut
:
a.
Semakin suatu kelompok berada pada
konflik yang terjadi karena isu – isu yang realistik atau tujuan yang dapat
dicapai, maka semakin cenderung mereka melihat kompromi sebagai alat untuk
merealisasikan kepentingannya, oleh karenanya kekerasan konplik akan semakin
berkurang.
b.
Semakin suatu kelompok berada pada
konflik yang terjadi karena isu – isu yang tidak realistik atau tujuan yang
tidak dapat dicapai, maka semakin besar tingkat emosional akan dapat
membangunkan dan terlihat dalam konflik dan oleh karenanya konflik akan semakin
keras.
c.
Semakin kurang fungsi hubungan
interdepensi di antara unit – unit sosial di dalam sistem, maka semakin kurang
tersediaannya alat – alat institusi untuk menahan konflik dan ketegangan,
semakin keras suatu konflik.
Berdasarkan
pemikiran Coser tersebut, secara teoritis dapat diduga bahwa kekerasan yang
terjadi disebabkan oleh adanya isu – isu yang non realistik di dalamnya. Isu
yang tudak realistis adalah isu yang tujuan – tujuannya tidak dapat
direalisasikan. Coser mencontohkan isu tentang agama, etnis, dan suku merupakan
sesuatu yang tidak realistik. Konflik yang terjadi karena isu tersebut
dikonsepsikan akan berlangsung secara keras.
Dalam kacamata
Coser, lama tidaknya suatu konflik dipengaruhi oleh tiga hal :
1.
Luas sempitnya tujuan konflik.
2.
Pengetahuan sang pemimpin tentang
simbol – simbol kemenangan atau kekalahan dalam konflik.
3.
Peranan pemimpin dalam memahami
biaya konflik dan persuasi pengikutnya.
Dalam
pemikiran semacam ini, tampak jelas bahwa peranan pemimpin begitu besar. Dengan
demikian untuk beberapa kasus di Indonesia, solusinya menunggu keterlibatan
sang pemimpin secara total.
2.2
ANALISIS
A.
Integrasi Nasional
Integrasi
nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada
pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara
nasional.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Integrasi
bangsa Indonesia adalah masalah esensial bagi bangsa ini dan merupakan masalah
dinamis dan kompleks yang memerlukan suatu kajian secara berkala untuk melihat
mutu integrasi tersebut. Proses disintegrasi tidak terjadi secara mendadak,
tetapi yang terjadi adalah degradasi secara terlambat dan tersembunyi, kemudian
muncul dalam bentuk gejala yang sudah akut.
Konsep
kebangsaan adalah terbentuknya suatu nation yang tidak didasarkan pada kesamaan
ras, suku, agama, kepentingan bersama, geografi atau batas ilmiah, tetapi
merupakan suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri atas orang – orang
yang saling merasa setia kawan dengan satu sama lain.
Konsep
kebangsaan tersebut di atas menekankan besarnya komitmen, juga perasaan atau
sentimen sebagai unsur penting dari terbentuknya suatu negara bangsa, sehingga
tidak mengherankan apabila para bapak bangsa kita di masa awal kemerdekaan
dengan penuh keyakinan bersepakat bahwa negara baru ini berlandaskan pada azas
integralisme, dimana hubungan antara penguasa dan rakyat bersifat kekeluargaan.
Namun,
intefrasi nasional tidak hanya tergantung dari perasaan dan komitmen,
sentimental semata. Secara teoritis, integrasi suatu negara bangsa dapat
diciptakan oleh paling sedikit tiga kekuatan, yaitu sebagai berikut :
Pertama,
adanya kesepakatan nilai yang telah mendarah daging pada masyarakat bangsa
tersebut. Masyarakat yang memiliki integrasi tipe ini (integrasi normatif)
menjungjung tinggi kesatuan bangsa bukan saja sebagai alat yang ampuh untuk
mencapai cita – cita bangsa, tetapi bahkan kesatuan merupakan tujuan itu
sendiri.
Kedua,
integrasi yang dihasilkan oleh suatu kekuatan yang memaksa dari suatu kelompok
yang dominan. Integrasi seperti ini tidak terlalu mendasarkan kepada ada
tidaknya sistem nilai integrasi yang hidup berkembang dalam masyarakat yang
mendukungnya.
Ketiga,
integrasi yang muncul dan bertahan karena anggota masyarakat menyadari secara
rasional bahwa integrasi tersebut amat mereka butuhkan untuk mencapai suatu tujuan
bersama. Dan dalam integrasi ini, setiap kelompok harus merasa diuntungkan oleh
fungsi yabg dijalankan oleh kelompok lain.
Ketiga
integrasi tersebut memiliki kelemahan dan kekuatannya. Integrasi normatif yang
pertama, tidak dipermasalahkan lagi karena masyarakat menilai tinggi integrasi
tersebut dari lubuk hatinya. Semua masyarakat mendukungnya tanpa syarat, bahkan
memeliharanya melalui suatu mekanisme sosialisasi. Akan tetapi, apabila
masyarakat modern yang semakin kompleks, dan dengan ramainya sistem nilai baru,
pemikiran baru dan budaya baru melalui proses globalisasi ini, maka suatu
kesepakatan nilai biasanya semakin sulit untuk dicapai sehingga integrasi jenis
ini amat rawan terhadap perkembangan zaman.
Integrasi
yang kedua, yang sifatnya koersif tergantung dari kekuatan bertahan dari
kelompok dominan, akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa kekuatan koersif
bagaimanapun diperlukan juga untuk melindungi suatu komitmen integrasi dari
rongrongan pihak lawan karena tidak ada masyarakat tanpa konflik.
Integrasi
fungsional yang ketiga, merupakan suatu pihak yang ideal. Akan tetapi, bila
integrasi hanya dijadilan semata – mata “alat” (bersifat instrumental) untuk
mencapai tujuan semntara, maka integrasi akan selalu berada di ujung tanduk.
Bangsa
Indonesia secara teoritis dapat memilih dari ketiga integrasi tersebut, yaitu
suatu integrasi oleh suatu kesepakatan nilai yang menjungjung tinggi kesatuan
itu sendiri (sebagai cita – cita, bukan sekedar alat) dan terdapat suatu daya
tahan untuk mempertahankan komitmen tersebut bila perlu dengan suatu kekuatan
yang riil.
Faktor-faktor
pendorong integrasi nasional sebagai berikut:
1.
Faktor sejarah yang menimbulkan rasa
senasib dan seperjuangan.
2.
Keinginan untuk bersatu di
kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928.
3.
Rasa cinta tanah air di kalangan
bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan
mengisi kemerdekaan.
4.
Rasa rela berkorban untuk
kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan
bangsa yang gugur di medan perjuangan.
5.
Kesepakatan atau konsensus
nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945,
bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa kesatuan bahasa
Indonesia.
Faktor-faktor
penghambat integrasi nasional sebagai berikut:
1.
Masyarakat Indonesia yang
heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan
masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan
sebagainya.
2.
Wilayah negara yang begitu luas,
terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3.
Besarnya kemungkinan ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan dan
persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
4.
Masih besarnya ketimpangan dan
ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai
rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk
rasa.
5.
Adanya paham “etnosentrisme” di
antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan kelebihan-kelebihan budayanya dan
menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
B.
Konflik dalam Masyarakat Indonesia
Konflik
yang terjadi di berbagai wilayah tanah air tidak semata – mata karena faktor
kepentingan para elite yang berbenturan. Akan tetapi, konflik juga terjadi
karena berbagai tuntutan untuk diperlakukan secara adil, hilangnya otonomi
kolektif dan pengalaman refresi oleh kelompok dominan memperkuat rasa
diperlakukan tidak adil,adanya diskriminasi aktif dalam politik, ekonomi dan
budaya, serta kehadiran kelompok yang menggalang pemberontakan. Menurut
pandangan Ritzer (1992) tentang faktor -
faktor penyebab timbulnya konflik di masyarakat tertuama, perbedaan
posisi dan wewenang, membuat analisis dari teori konflik sebagai berikut :
a.
Konflik sosial bersumber dari
adanya distribusi kekuasaan yang tidak merata. Rasional pun menyebutkan bahwa
tidaklah memungkinkan untuk dilakukan distribusi kekuasaan secar merata kepada
seluruh anggota masyarakat.
b.
Konflik juga berasal dari tidak
tunduknya individu – individu sebagai pihak yang dikuasai terhadap sanksi yang
di berikan oleh pihak yang sedang berada pada posisi menguasai.
c.
Konflik merupakan fungsi dari
adanya pertentangan antara penguasa dan yang dikuasai, dimana penguasa
senantiasa ingin mempertahankan set of
properties yang melekat pada kekuasaannya, sementara yang dikuasai selalu
terobsesi untuk mewujudkan perubahan yang dianggap merupakan satu – satunya
jalan untuk menggapai perbaikan posisi dirinya.
Dari
pada itu, konflik – konflik yang terjadi di Indonesia seharusnya disikapi
sebagai cara untuk merengkuh warna kehidupan yang lebih memberdayakan
masyarakat manusia. Selama ini, konflik paling disikapi sebagai suatu
peringatan, cobaan, dan laknat dari sang penguasa alam. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa konflik merupakan sesuatu yang terpaksa diterima oleh manusia.
Konflik tidak ditempatkan dalam agenda kehidupan sebagai strategi, cara atau
jalan untuk mencapai tujuan kehidupan.
Menurut
Nurudin, untuk konflik – konflik yang sudah terlanjur muncul di masyarakat
dapat diatasi dengan cara sebagai berikut :
a.
Apabila konflik itu menyangkut
kemajemukan vertikal, konflik yyang
timbul karena tiap – tiap kelompok atau individu yang beerdasarkan pekerjaan,
profesi dan tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda, bahkan saling
bertentangan alternatif yang bisa dilakkukan adalah kemampuan semua pihak yang
berkonflik untuk saling menyesuaikan diri dengan kepentingan dan nilai pihak
lain.
b.
Apabila konflik itu menyangkut
kemajemukan horizontal, struktur masyarakat yang terppolarisasi menurut
pemikirannya, kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan adalah mengurangi disparitas
(perbedaan) di antara dua belah pihak.apabila hal demikian menyangkut kekayaan,
maka bagai maana kekayaan itu mampu didistribusikan kepada golongan – golongan
secara merata. Apabila kekuasaan (meminjam istilaah Nordlinger) adanya prinsip
asas proporssonialitas, yakni posisi - posisi pemerintah yang penting
didistribusikan kepadaa golongan – golongan masyarakat sesuai dengan porsi
jumlahnya dalam keseluruhhan penduduk.
c.
Apabila hal demikian menyangkut
kurrangnya saluran katarsis politik adalah bagaimana prosespebbyaluran
aspirasi, komentar, partisipasi, dan unek – unnek masyarakat yang bisa dilakukan.
Menurut
Ralf Dahendorf, untuk mengantisipasi konflik, perlu penggorganisasian terhdap
kelompok – kelompok sosial scara lebih baik karena dengan berbagai
pengorganisasian secara baik terhadap kelompok – kelompok sosial yang ada akan
membangun sebuah mekanisme kontrol terhadap kecenderungan kelompok – kelompok
sosial tersebut. Sebaliknya, jika pengorganisasian kelompok – kelompok sosial
tersebut tidak berjalan secara baik, maka akan terbuka kemungkinan untuk
melakukan gerakan – gerakan sosial yang tidak bisa dikontrol.
Menurut
Jack Rothman, untuk mengatasi berbagai konflik yang ada di dalam masyarakat
maka perlu dilakukan beberapa tindakan :
1.
Tindakan koersif (paksaan), perlu
ada pengaturan administratif, penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi.
2.
Memberikan intensif, seperti
memberikan penghargaan kepada suatu komunitas akan keberhasilan menjaga
ketertiban dan keharmonisan.
3.
Tindakan persusif, terutama
terhadap ketidakpuasan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi realitas,
sosial, politik, dan ekonomi.
4.
Tindakan normatif, yakni melakukan
proses membangun persepsi dan keyakinan masyarakat akan sistem sosial yang akan
dicapai.
Dari
pada itu, organisasi yang bukan bertujuan laba atau organisasi pemerintah,
mempunyai fungsi terpenting yang bersifat khas seorang manajer, yaitu mengenai
pemecahan masalah. Manajer harus mengetahui bahwa tentang problem yang harus
diselesaikan, sedangkan penyelesaiannya bersifat terpadu yang melibatkan
seluruh sistem organisasi (sistem sosial) dan hal ini merupakan suatu realitas
yang tidak dapat dipungkiri.
Ada
beberapa langkah penerapan manajemen sistem sosial, diantaranya adalah sebagai
berikut :
a.
Pengendalian sosial, di dalam
masyarakat yang multietnik perlu dilakukannya suatu pengendalian sosial.
Pengendalian sosial ini merupakan suatu kontrol masyarakat, baik kontrol
pemerintah terhadap perilaku masyarakat maupun kontrol masyarakat terhadap
perilaku pemerintah.
b.
Pemberdayaan masyarakat atau
sumber daya lokal. Dalam pemberdayaan ini, yang menjadi pengelolanya dalam hal
ini adalah pemimpin atau pemerintah yang mendapat kepercayaan masyarakat dan
yang merupakan putra daerah.
c.
Membangun solidaritas sosial antar
kelompok etnik atau solidaritas sosial
masyarakat. Bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu
atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang di anut
bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
d.
Peningkatan mutu hidup masyarakat.
Realitas sosial menggambarkan bahwa kemiskinan lebih banyak berada di daerah pedesaan.
Kemiskinan ini di tunjang lagi dengan kondisi ekonomi saat ini sedang sulit.
C.
Kemajemukan Masyarakat dalam Menghadapi Terjadinya Disintegrasi Bangsa
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 ketika RI memproklamasikan kemerdekaannya, negara
langsung dihadapkan kepada adanya perbedaan – perbedaan di antara golongan
penduduk suku dan agama. Melalui paham Bhinneka Tunggal Ika, tangan bangsa yang
kokoh kuat telah menggenggam panji yang berbunyi satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa.
Akan
tetapi, ini bukanlah berarti bahwa adanya perbedaan – perbedaan itu kadang –
kadang diiringi antagonisme dan pertentangan. Oleh karena itu, paham Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah bermaksud untuk conte
cute conte yang secara kukuh mempertahankan, mengkonservir perbedaan –
perbedaan itu sampai akhir zaman karena perbedaan – perbedaan segalanya memang
itu sudah ada sejak inonesia lahir.
Apa
yang diuraikan diatas, seolah – olah ada sesuatu yang terlupakan. Kenyataannya
tampak karena paham akan kemajemukan bangsa malah melahirkan berbagai krisis,
yang penyelesaiannya tak kunjung usai. Akibat dari itu seolah – olah kita
kehilangan ambeg para maarta, dalam
arti pengutamakan kepentingan orang banyak dan mau mengorbankan kepentingan
diri sendiri.
Teori
sosiologi mengutarakan tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, perubahan
masyarakat itu dinamakan perubahan sosial. Semua perubahan sosial dalam
prosesnya melalui berbagai tahap :
1.
Tahap terintegrasi atau tahapan
terorganisasi. Tahap ini merupakan tahap sosial budaya, dimana lembaga –
lembaga sosial budaya, seperti lembaga politik, ekonomi, pemerintahan, agama
dan lain – lain berada dalam kerukunan dan keseimbangan.
2.
Tahap disintegrasi atau
diorganisasi antara lembaga sosial budaya. Pada tahap ini masyarakat mengalami
situasi sosial psikologi, dimana orang sering tidak mengetahui nilai – nilai
mana yang dianggap baik dan nilai – nilai mana yang di anggap tidak baik.
3.
Tahap reintegrasi kehidupan. Hal
ini jarang terjadi, tetapi tahap reintegrasi itu sebenarnya merupakan
tahapintegrasi sosial budaya dengan sistem nilai – nilai dan kaidah – kaidah
yang berbeda dari yang berlaku pada tahap pertama.
Apabila
tahapan – tahapan yang dipaparkan diatas digunakan dalam meneropong situasi
masyarakat dewasa ini, masyarakat kita sedang berada pada tahapan – tahapan
tersebut. Tahapan yang harus hati – hati adalah pada tahapan kedua atau periode
anomie. Jalan keluar untuk itu
seyogyanya di dalam keadaan yang demikian, harus cermat dalam menyikapi
kemajemukan masyarakat.
BAB III
PENUTUPAN
3.1
Kesimpulan
1.
Teori konflik menurut :
·
Karl Marx : Filosofi Karl Marx
banyak di kemukakan dalam analisis sosiologi maupun ekonomi. Pada intinya ia
menggabungkan antara komitmen ideologi dengan struktur ekonomi dan posisi
kelas.
·
George Simmel : Simmel memandang
konflik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan da dalam suatu masyarakat.
Namun Simmel tida sependapat untuk melihat struktur sosial sebagai sistem yang
hanya terbagi menjadi dua strata-kelas dominan dan subordinat.
·
Marx Weber : Marx Weber mempunyai
perhatian pada sisi historis transisi masyarakat tradisional menuju masyarakat
kapitalis modern. Menurutnya masyarakat akan lebih diarahkan oleh rasa
rasionalitasnya daripada oleh nilai – nilai tradisional.
·
Ralf Dahrendorf : analisis
masyarakat itu bertitik tolak dari kenyataan bahwa para anggotanya dapat
dikelompokan dalam dua kategori, yaitu mereka yang menguasai dan yang dikuasai.
·
Lewis A. Coser : konflik
disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan
legitimasi dari keberadaan distribusi sumber – sumber langka. Disisi lain,
konflik yang bersifat antar ataupun dalam kelompok selalu terwujud dalam
kehidupan sosial.
2.
Integrasi nasional adalah usaha
dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga
terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional.
3.
Konflik yang terjadi di berbagai
wilayah tanah air tidak semata – mata karena faktor kepentingan para elite yang
berbenturan. Akan tetapi, konflik juga terjadi karena berbagai tuntutan untuk diperlakukan
secara adil, hilangnya otonomi kolektif dan pengalaman refresi oleh kelompok
dominan memperkuat rasa diperlakukan tidak adil,adanya diskriminasi aktif dalam
politik, ekonomi dan budaya, serta kehadiran kelompok yang menggalang
pemberontakan.
4.
Pada masa proklamasi, negara
langsung dihadapkan kepada adanya perbedaan – perbedaan di antara golongan
penduduk suku dan agama. Melalui paham Bhinneka Tunggal Ika, tangan bangsa yang
kokoh kuat telah menggenggam panji yang berbunyi satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa.
3.2
Saran
Kami
berharap semoga makalah yang kami buat
bisa bermanfaat dan memberi pengaruh positif kepada semua pihak. kami juga
berharap setelah pembaca membaca makalah yang kami buat, pembaca bisa lebih
mengerti dan memahami teori – teori tentang konflik dan analisis masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ranjabar,
Jacobus. 2013. Sistem Sosial Budaya
Indonesia. Bandung : Alfabeta
Kembanngkan nya
BalasHapus👍☺
Daftar Agen Judi Poker, Adukiu, QQ, BandarQ Online Terpercaya Di Indonesia Sekarang Juga...
BalasHapusTingkat kemenangan 80% Ayo Buruan Tunggu Apa Lagi Daftarkan Diri anda sekarang juga...
CentralQQ
CentralQQ
CentralQQ
CentralQQ
CentralQQ
CentralQQ