Kamis, 12 Februari 2015

Hukum sebagai norma



Hukum Sebagai Norma
Yang dimaksud hukum bersifat normatif yaitu apabila pemerintah yang sah mengeluarkan peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut dianggap sebagai norma yang berlaku secara yuridis yaitu peraturan tersebut terasa mewajibkan sedemikian rupa sehingga orang yang tidak mematuhi perturan dapat dituntut hukuman melalui pengadilan.
Memahami hukum sebagai norma berarti juga memahami hukum sebagai sesuatu yang seharusnya (das sollen). Memahami hukum sebagi das sollen berarti juga menginsyafi bahwa hukum merupakan bagian dari kehidupan kita yang berfungsi sebagi pedoman yang harus diikuti dengan maksud supaya kehidupan kita diatur sedemikian rupa sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang dibagi sebagaimana mestinya. Bila hukum diakui sebagai norma maka hukum harus ditaati. Hukum ditaati bukan karena terdapat suatu kekuasaan di belakangnya, melainkan karena mewajibkan itu termasuk hakekat hukum itu sendiri. Ini juga bermakna bahwa jika suatu peraturan tersebut sebagai norma hilang. Selain itu banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan yang ada bukan berarti juga membawa kita kepada kesimpulan untuk meniadakan suatu peraturan karena hukum mengatur apa yang seharusnya(das sollen)bukan proposisi tentang sesuatu yang terjadi(das sein).
Hans kelsen (1881-1973)  mendefenisikan yurisprudensi sebagai pengetahuan akan norma-norma. Dengan istilah dengan norma-norma memahami suatu pertimbangan hipotesis  yang menyatakan bahwa melakukan atau tidak melakukan atau suatu tindakan tertentu akan diikuti oleh suatu tindakan memaksa dari negara. Barang siapa secara tidak sah mengambil benda milik orang lain. Suatu norma berarti bahwa dalam situasi tertentu negara akan melakukan pemaksaan untuk prilaku tertentu. Hukum merupakan suatu sistem yang dibagi dalam beberapa norma pemaksaan semacam itu. Essensinya merupakan sebuah tatanan yang memaksa yang datang dari luar.
Fungsi pengundangan(legislasi) adalah untuk menentukan norma. Norma umum dan menyediakan organ-organ dan prosedur bagi pelaksanaan norma-norma itu. Alat dalam proses mengkonkretkan norma-norma adalah kekuatan yudisial, yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan administratif. Otoritas keputusan pengadilan menentukan apakah dan dalam cara apa suatu norma umum harus diaplikasikan ke dalam kasus konkrit.
Hukum menurut Kelsen merupakan suatu teknik khusus organisasi sosial. Ciri khas hukum bukan sebagai suatu tujuan akhir tetap sebagai alat khusus, sebagai alat pemaksa yang dengan demikiantidak ada nilai politik atau etik menepel, suatu alat yang nilainya timbul lebih dari sekedar tujuan yang melebihi hukum. Jadi kemungkinan hukum alam secara katagori ditolak oleh Kelsen.
ΓΌ  Hukum dan  kedilan
Berbicara mengenai keadilan kiranya perlu meninjau berbagai teori para ahli salah satunya adalah Plato. Dalam mengartikan keadilan Plato sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.
Pendapat Plato tersebut merupakan pernyataan kelas, maka keadilan berarti bahwa para anggota setiap masyarakat harus menyelesaikan pekerjaan masing-masing  dan tidak boleh mencampuri urusan anggota kelas lain. Pembuat peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap kelompok masyarakat dimana dan situasi bafaimana yang cocok untuk seseorang. Pendapat tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia bukanlah suatu jiwa yng terisolir dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki ya, tetapi manusia adalah jiwa yang terikat dengan peraturan dan tatanan universal yang harus menundukkan keinginan pribadinya kepada organik kolektip.
Dari situ terkesan pemahaman, keadilan dalam konsep Plato sangat terkain dengan peran dan fungsi individu dalam msyarakat. Idealisme keadilan akan tercapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat berupa individu dapat menempatkan dirinya pada propersi masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang diemban, selanjutnya tidak dapat mencampuri urusan dan tugas kelompok lainnya oleh Plato membentuk manusia dalam kotak-kotak kelompok atau rasis, peran suatu kelompok tidak dapat  menyeberang dengan kelompok lain. Keadilan akan terwujud mana kala manusia menyadari  status sosial dan tugasnya sebagai delegasi kelompoknya sendiri.
Lain halnya dengan Aristoteles menurutnya keadilan berisi unsur kesamaan, bahwa semua benda-benda yang ada di alam ini dibagi secara rata  yang pelaksanaannya dikontrol  oleh hukum. Dalam pandangan Aristoteles keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu : (1).  Keadilan distributif adalah keadilan yang bditentukan oleh pembuat undang-undang distibusinya  memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan porsional. (2). Keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara menganti rugi atas milik nya yang hilang(Muslehuddinn, 1991:36).
Aristoteles dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi     oleh unsur kepemilikanbenda tertentu. Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles ketika semua unsur masyarakat mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak  yang sama atas kepemilikannya antara   suatu barang (materi).
Pandangan Aristoteeles disatu sisi ditolak oleh seorang filsuf kontemporer  William.K.Franken pandangan tentang keadilan sebagai bagian sama rata adalah sisi yang diterima William adalah keadilan merupakan distribusi barang, akan tetapi distribusi yang adil bukan hanya distribusi yang sama rata akan tetapi berbeda dalam keadaan tertentu juga  merupakan keadilan.
Sedangkan Herbert Spencer mengartikan keadilan adalah kebebasan. Setiap orang bebas melakukan apa yang ia inginkan asal tidak menganggu orang lain. Pandangan ini samgat kontras bila dihadapkan dengan pandangan Plato.  Kebebasan individualis adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh Plato, sementara Herbert Spencer sebaliknya keadilan justru berangkat dari kebebasan individu. Sedangkan kesamaan terletak pada pengertian yang tidak dapat menggangu kepentingan orang lain. Artinya kebebasan individu yang ditawarkan oleh Spencer tetap pada asumsi bahwa manusia hidup berdampinagan dengan manusia lain, sehingga setiap tindakan harus mengaju pada dua pertimbangan yaitu pertimbangan kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain sebagaimana bentuk perhatian kolektif.
Kalsen adalah tokohnyang berusaha mereduksi sejumlah teori keadilan jmenjadi dua pola dasar yaitu (1). Rasional dan (2). Metafisik. Tipe rasional sebagai tipe yang berusaha menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan cara mendefenisikan dalam suatu pola ilmiah atau quasi ilmiah. Dalam memecahkan persoalan keadilan tipe rasional berlandaskan pada akal tipe ini diwakili oleh Aristoteles. Sedangkan tipe metafisik merupakan realisasi sesuatu yang diarahkan ke dunia lain dibalik pengalaman manusia. Pola ini diwakili oleh Plato. Dalam pandangan Dewey keadilan tidak dapat didefenisikan ia merupakan idealisme yang tidak rasional.
Menurut John Rawls kebebasan dan kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti  teori keadilan. Rawls menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaan seharusnya tidak dikorbankan demi manfaat sosialatau ekonomi betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari sudut itu. Rawls percaya bahwa suatu perlakuan yang sama bagi semua anggota masyarakat yang terakomodasi dalam keadilan formal atau juga disebut keadilan regulatif, sesungguhnya mengandung pengakuan akan kebebasan  akan kesamaan bagi semua orang.
Teeori keadilan Rawls yang disebut prinsip-prinsip pertama keadilan itu bertolak dari konsep keadilan yang lebih umum. Ada dua hal penting yang dapat dicatat sehubungan dengan konsep keadilan umum tersebutyakni : (1).  Kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai lainnya dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat  istimewa terhadap kebebasan. Hal  ini berbeda dengan konsep keadilan Rawls yang berakar pada prinsip-prinsi hak  dan bukan pada prinsip manfaat. (2).  Keadilan tidak selau berarti  semua orang harus selalu   berarti  semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama ; keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diberlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara  objek ada pada individu; ketika kesamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asal kebijaksanaan yang ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang. Rawls memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling tidak beruntung.
Menurut Rawls kekuatan dalam keadilan dalam arti fairmess justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekali gus memberi prioritas pada kebebasan. Ini merupakan dua tuntuan dasar dan dipenuhi  dan dengan demikian juga membedakan  secara tegas konsep keadilan sebagai ferness dari teori yang dirumuskan dalam nafas intuisinisme dalam cakrawala teologis untuk terjaminannya efektifitas dari kedua prinsip keadilan itu Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatutatanan yang disebut serial order dengan pengaturan seperti itu Rawls menegaskan bahwa hak-hak serta kekebasan-kebesan dasar tidak dapat ditukar dengan keuntungan sosial dan ekonomis ini berarti prinsip keadilan yang kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan daan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak b oleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang pertama dengan demikian memiliki prioritas utama atas keuntungan sosial dengan ekonomis.  Soekanto menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat daalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagi tindakan adil. Pertama,  Namineim Laedire, yakni jangan merugikan orang lain, secaara luas asas ini berarti apa yang anda tidaak ingin alami, berarti apa yang boleh anda dapat, biarkan prang lain berusaha mendapatkannya (Soekanto, 1998 ;828). Asas pertama merrrupakan sendi equality yang ditunjukan kepada umum sebgai asas pergaulan hidup. Sedangkan asas kedua merupakan asas equity yang diarahkan kepada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa  yang memang tidak sama.
Dibalik pengertian keadilan tersebut para filsuf hukum kemasyarakatan telah merumuuskan teorri keadilan tidak dalam istilah yang mutlak, tetapi berkenan dengan peradaban. Nietzzzsche memahami keadilan sebagai kebenaran dari orang kuat. Sementara Hobbes mengemukakan konsep yang lain tentang keadilan. Keadilan adalah apabila perjanjian dilaksanakan sebagaimana mestinya(Muslehuddin, 1991: 78). Lain lagi pendapat Dewey baginyakeadilan tidak dapat digambarkan dalam pengertian terbatas. Keadilan adalah keadilan yang tidak berubah-ubah, bahkan persaingan adalah wajar dan adil dalam kapitalisme kompetitif-individualistik. Akhirnya Freimann mengomentari bahwa kegagalan standar keadilan selama ini adalah akibat kesalahan standart dasar pembentukan keadilan. Standard keadilan yang mutlak adalah keadilan dengan dasar agama.
Prinsip keadilan baru dapat dikatakan bersifat universal jika dapat mencakup semua persoalan  keadilan sosial dan individu yang meneul. Universal dalam penerapannya mempunyai tuntutan-tuntutan yang harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Agar dapat dikembangkan seluruh warga masyarakat. Agar dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga masyarakat maka prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dimengerti setiap orang. Masalah keadilan muneul ketika individu-individu berlainan mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata “setuju”  tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat  komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut. Dengan demikian seeseorang kemudian mempertimbangkan “biaya psikologis” yang harus ditanggung dalam memenuhi kompensasi kesepakatan pengikat gerak sosial dan individual tersebut.
Konsep keadilan bahkan konsep kepastian dan kebenaran akan selalu berevolusi oleh karena itu keadilan harus mampu melakukan interaksi sirkuler dengan perkembangan ilmu-ilmu lain, antara lain teologi, ideolohi dan teknologi. Perkembangan keadilan di Baarat misalnya konsep keadilan yang pada mulanya sifat mytological pada masa ini keadilan hanya terdapat pada dewa. Aristoteles dan Plato kemudian mengembangkan konsep keadilan tersebut menjadi intelektual-rasional. Keadilan kemudian dikaitkan dengan institusi dan kolektifitas kehidupan manusia.
Perubahan konsep keadilan dari waktu kewaktu lebih banyak terjadi pada daratan operasional, sedangkan sifat selalu statis dan politis. Dari konsep perubahan dan dengan berpegang pada konsep “hak” kemudian dikembangkan diferensiasikan jenis keadilan. Tantangan utama dalam prinsip keadilan di zaman sekarang adalah  bagaimana mencari celah diantara benturan liberalisme dan sosialisme, terutama menyangkut perkembangan ekonomi sehingga keadilan menjadi erat kaitannya dengan ekonomi. Artinya prinsip-prinsip keadilan menjadi sangat majemuk karena bisa berbentuk konsep teologis, konsep etis, konsep hukum, konsep politik, konsep sosiolohis dan konsep ekonomi.

1 komentar: