Hukum Sebagai Norma
Yang
dimaksud hukum bersifat normatif yaitu apabila pemerintah yang sah mengeluarkan
peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut dianggap
sebagai norma yang berlaku secara yuridis yaitu peraturan tersebut terasa
mewajibkan sedemikian rupa sehingga orang yang tidak mematuhi perturan dapat
dituntut hukuman melalui pengadilan.
Memahami
hukum sebagai norma berarti juga memahami hukum sebagai sesuatu yang seharusnya
(das sollen). Memahami hukum sebagi das sollen berarti juga menginsyafi bahwa
hukum merupakan bagian dari kehidupan kita yang berfungsi sebagi pedoman yang
harus diikuti dengan maksud supaya kehidupan kita diatur sedemikian rupa
sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang dibagi sebagaimana mestinya.
Bila hukum diakui sebagai norma maka hukum harus ditaati. Hukum ditaati bukan
karena terdapat suatu kekuasaan di belakangnya, melainkan karena mewajibkan itu
termasuk hakekat hukum itu sendiri. Ini juga bermakna bahwa jika suatu
peraturan tersebut sebagai norma hilang. Selain itu banyaknya
pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan yang ada bukan berarti juga membawa
kita kepada kesimpulan untuk meniadakan suatu peraturan karena hukum mengatur
apa yang seharusnya(das sollen)bukan proposisi tentang sesuatu yang terjadi(das
sein).
Hans
kelsen (1881-1973) mendefenisikan
yurisprudensi sebagai pengetahuan akan norma-norma. Dengan istilah dengan
norma-norma memahami suatu pertimbangan hipotesis yang menyatakan bahwa melakukan atau tidak
melakukan atau suatu tindakan tertentu akan diikuti oleh suatu tindakan memaksa
dari negara. Barang siapa secara tidak sah mengambil benda milik orang lain.
Suatu norma berarti bahwa dalam situasi tertentu negara akan melakukan
pemaksaan untuk prilaku tertentu. Hukum merupakan suatu sistem yang dibagi
dalam beberapa norma pemaksaan semacam itu. Essensinya merupakan sebuah tatanan
yang memaksa yang datang dari luar.
Fungsi
pengundangan(legislasi) adalah untuk menentukan norma. Norma umum dan
menyediakan organ-organ dan prosedur bagi pelaksanaan norma-norma itu. Alat
dalam proses mengkonkretkan norma-norma adalah kekuatan yudisial, yang
dilakukan oleh pengadilan-pengadilan administratif. Otoritas keputusan
pengadilan menentukan apakah dan dalam cara apa suatu norma umum harus diaplikasikan
ke dalam kasus konkrit.
Hukum
menurut Kelsen merupakan suatu teknik khusus organisasi sosial. Ciri khas hukum
bukan sebagai suatu tujuan akhir tetap sebagai alat khusus, sebagai alat
pemaksa yang dengan demikiantidak ada nilai politik atau etik menepel, suatu
alat yang nilainya timbul lebih dari sekedar tujuan yang melebihi hukum. Jadi
kemungkinan hukum alam secara katagori ditolak oleh Kelsen.
ΓΌ Hukum
dan kedilan
Berbicara
mengenai keadilan kiranya perlu meninjau berbagai teori para ahli salah satunya
adalah Plato. Dalam mengartikan keadilan Plato sangat dipengaruhi oleh
cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis
dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya
sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.
Pendapat
Plato tersebut merupakan pernyataan kelas, maka keadilan berarti bahwa para
anggota setiap masyarakat harus menyelesaikan pekerjaan masing-masing dan tidak boleh mencampuri urusan anggota
kelas lain. Pembuat peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap
kelompok masyarakat dimana dan situasi bafaimana yang cocok untuk seseorang.
Pendapat tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia bukanlah suatu jiwa
yng terisolir dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki ya, tetapi manusia
adalah jiwa yang terikat dengan peraturan dan tatanan universal yang harus
menundukkan keinginan pribadinya kepada organik kolektip.
Dari
situ terkesan pemahaman, keadilan dalam konsep Plato sangat terkain dengan
peran dan fungsi individu dalam msyarakat. Idealisme keadilan akan tercapai
bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat berupa individu dapat menempatkan
dirinya pada propersi masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas
yang diemban, selanjutnya tidak dapat mencampuri urusan dan tugas kelompok
lainnya oleh Plato membentuk manusia dalam kotak-kotak kelompok atau rasis,
peran suatu kelompok tidak dapat
menyeberang dengan kelompok lain. Keadilan akan terwujud mana kala
manusia menyadari status sosial dan
tugasnya sebagai delegasi kelompoknya sendiri.
Lain
halnya dengan Aristoteles menurutnya keadilan berisi unsur kesamaan, bahwa
semua benda-benda yang ada di alam ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Dalam pandangan Aristoteles
keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu : (1).
Keadilan distributif adalah keadilan yang bditentukan oleh pembuat
undang-undang distibusinya memuat jasa,
hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan
porsional. (2). Keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin dan memelihara
distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada
prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara
mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara menganti rugi
atas milik nya yang hilang(Muslehuddinn, 1991:36).
Aristoteles
dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikanbenda tertentu.
Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles ketika semua unsur masyarakat
mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh
Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak
yang sama atas kepemilikannya antara
suatu barang (materi).
Pandangan
Aristoteeles disatu sisi ditolak oleh seorang filsuf kontemporer William.K.Franken pandangan tentang keadilan
sebagai bagian sama rata adalah sisi yang diterima William adalah keadilan
merupakan distribusi barang, akan tetapi distribusi yang adil bukan hanya
distribusi yang sama rata akan tetapi berbeda dalam keadaan tertentu juga merupakan keadilan.
Sedangkan
Herbert Spencer mengartikan keadilan adalah kebebasan. Setiap orang bebas
melakukan apa yang ia inginkan asal tidak menganggu orang lain. Pandangan ini
samgat kontras bila dihadapkan dengan pandangan Plato. Kebebasan individualis adalah sesuatu yang
sangat dihindari oleh Plato, sementara Herbert Spencer sebaliknya keadilan
justru berangkat dari kebebasan individu. Sedangkan kesamaan terletak pada
pengertian yang tidak dapat menggangu kepentingan orang lain. Artinya kebebasan
individu yang ditawarkan oleh Spencer tetap pada asumsi bahwa manusia hidup
berdampinagan dengan manusia lain, sehingga setiap tindakan harus mengaju pada
dua pertimbangan yaitu pertimbangan kepentingan pribadi dan kepentingan orang
lain sebagaimana bentuk perhatian kolektif.
Kalsen
adalah tokohnyang berusaha mereduksi sejumlah teori keadilan jmenjadi dua pola
dasar yaitu (1). Rasional dan (2). Metafisik. Tipe rasional sebagai tipe yang
berusaha menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan cara mendefenisikan dalam
suatu pola ilmiah atau quasi ilmiah. Dalam memecahkan persoalan keadilan tipe
rasional berlandaskan pada akal tipe ini diwakili oleh Aristoteles. Sedangkan
tipe metafisik merupakan realisasi sesuatu yang diarahkan ke dunia lain dibalik
pengalaman manusia. Pola ini diwakili oleh Plato. Dalam pandangan Dewey
keadilan tidak dapat didefenisikan ia merupakan idealisme yang tidak rasional.
Menurut
John Rawls kebebasan dan kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti teori keadilan. Rawls menegaskan bahwa kebebasan
dan kesamaan seharusnya tidak dikorbankan demi manfaat sosialatau ekonomi
betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari sudut itu. Rawls percaya
bahwa suatu perlakuan yang sama bagi semua anggota masyarakat yang terakomodasi
dalam keadilan formal atau juga disebut keadilan regulatif, sesungguhnya
mengandung pengakuan akan kebebasan akan
kesamaan bagi semua orang.
Teeori
keadilan Rawls yang disebut prinsip-prinsip pertama keadilan itu bertolak dari
konsep keadilan yang lebih umum. Ada dua hal penting yang dapat dicatat
sehubungan dengan konsep keadilan umum tersebutyakni : (1). Kebebasan ditempatkan sejajar dengan
nilai-nilai lainnya dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi
tempat istimewa terhadap kebebasan.
Hal ini berbeda dengan konsep keadilan
Rawls yang berakar pada prinsip-prinsi hak
dan bukan pada prinsip manfaat. (2).
Keadilan tidak selau berarti semua
orang harus selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu
dalam jumlah yang sama ; keadilan tidak selalu berarti semua orang harus
diberlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang
secara objek ada pada individu; ketika
kesamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asal
kebijaksanaan yang ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang.
Rawls memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu
hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling tidak beruntung.
Menurut
Rawls kekuatan dalam keadilan dalam arti fairmess justru terletak pada tuntutan
bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua
pihak dan sekali gus memberi prioritas pada kebebasan. Ini merupakan dua
tuntuan dasar dan dipenuhi dan dengan
demikian juga membedakan secara tegas
konsep keadilan sebagai ferness dari teori yang dirumuskan dalam nafas
intuisinisme dalam cakrawala teologis untuk terjaminannya efektifitas dari
kedua prinsip keadilan itu Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam
suatutatanan yang disebut serial order dengan pengaturan seperti itu Rawls
menegaskan bahwa hak-hak serta kekebasan-kebesan dasar tidak dapat ditukar
dengan keuntungan sosial dan ekonomis ini berarti prinsip keadilan yang kedua
hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang
kedua tidak boleh bertentangan daan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua
tidak b oleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang pertama dengan demikian
memiliki prioritas utama atas keuntungan sosial dengan ekonomis. Soekanto menyebut dua kutub citra keadilan
yang harus melekat daalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagi tindakan
adil. Pertama, Namineim Laedire, yakni
jangan merugikan orang lain, secaara luas asas ini berarti apa yang anda tidaak
ingin alami, berarti apa yang boleh anda dapat, biarkan prang lain berusaha
mendapatkannya (Soekanto, 1998 ;828). Asas pertama merrrupakan sendi equality
yang ditunjukan kepada umum sebgai asas pergaulan hidup. Sedangkan asas kedua
merupakan asas equity yang diarahkan kepada penyamaan apa yang tidak berbeda
dan membedakan apa yang memang tidak
sama.
Dibalik
pengertian keadilan tersebut para filsuf hukum kemasyarakatan telah merumuuskan
teorri keadilan tidak dalam istilah yang mutlak, tetapi berkenan dengan
peradaban. Nietzzzsche memahami keadilan sebagai kebenaran dari orang kuat.
Sementara Hobbes mengemukakan konsep yang lain tentang keadilan. Keadilan
adalah apabila perjanjian dilaksanakan sebagaimana mestinya(Muslehuddin, 1991:
78). Lain lagi pendapat Dewey baginyakeadilan tidak dapat digambarkan dalam
pengertian terbatas. Keadilan adalah keadilan yang tidak berubah-ubah, bahkan
persaingan adalah wajar dan adil dalam kapitalisme kompetitif-individualistik.
Akhirnya Freimann mengomentari bahwa kegagalan standar keadilan selama ini
adalah akibat kesalahan standart dasar pembentukan keadilan. Standard keadilan
yang mutlak adalah keadilan dengan dasar agama.
Prinsip
keadilan baru dapat dikatakan bersifat universal jika dapat mencakup semua
persoalan keadilan sosial dan individu
yang meneul. Universal dalam penerapannya mempunyai tuntutan-tuntutan yang
harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Agar dapat dikembangkan seluruh
warga masyarakat. Agar dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga
masyarakat maka prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dimengerti
setiap orang. Masalah keadilan muneul ketika individu-individu berlainan
mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus
mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan
masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan
menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata “setuju” tetapi benar-benar merupakan jelmaan
kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan
tersebut. Dengan demikian seeseorang kemudian mempertimbangkan “biaya
psikologis” yang harus ditanggung dalam memenuhi kompensasi kesepakatan
pengikat gerak sosial dan individual tersebut.
Konsep
keadilan bahkan konsep kepastian dan kebenaran akan selalu berevolusi oleh
karena itu keadilan harus mampu melakukan interaksi sirkuler dengan
perkembangan ilmu-ilmu lain, antara lain teologi, ideolohi dan teknologi.
Perkembangan keadilan di Baarat misalnya konsep keadilan yang pada mulanya
sifat mytological pada masa ini keadilan hanya terdapat pada dewa. Aristoteles
dan Plato kemudian mengembangkan konsep keadilan tersebut menjadi
intelektual-rasional. Keadilan kemudian dikaitkan dengan institusi dan
kolektifitas kehidupan manusia.
Perubahan
konsep keadilan dari waktu kewaktu lebih banyak terjadi pada daratan
operasional, sedangkan sifat selalu statis dan politis. Dari konsep perubahan
dan dengan berpegang pada konsep “hak” kemudian dikembangkan diferensiasikan
jenis keadilan. Tantangan utama dalam prinsip keadilan di zaman sekarang
adalah bagaimana mencari celah diantara
benturan liberalisme dan sosialisme, terutama menyangkut perkembangan ekonomi
sehingga keadilan menjadi erat kaitannya dengan ekonomi. Artinya prinsip-prinsip
keadilan menjadi sangat majemuk karena bisa berbentuk konsep teologis, konsep
etis, konsep hukum, konsep politik, konsep sosiolohis dan konsep ekonomi.
tidak ada catatan kakinya ya
BalasHapus